Sejarah Desa

Desa Perancak adalah sebuah desa tua yang terletak di pesisir selatan di wilayah Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Desa Perancak awalnya merupakan tanah timbul dari endapan pasir dan lumpur yang dipenuhi tumbuhan semak belukar serta pohon besar sehingga merupakan sebuah desa yang sangat angker, dilintasi oleh satu jalan yaitu Jalan Raya Tegal Cangkring - Perancak namun sekarang sudah dibuat jalan alternatif untuk menuju kabupatan/kota. Kapan dan oleh siapa nama "Perancak" diberikan kepada desa ini, sampai saat ini masih misteri, namun masyarakat Desa Perancak masih bisa menceritakannya secara turun temurun. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, nama "Perancak" itu sendiri berawal karena faktor budaya.

Desa Perancak awalnya bernama "Tanjung Ketapang" hal ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah seorang Brahmana (Pendeta) atau guru besar agama Hindu yang bernama Danghyang Dwijendra atau sebutan lain adalah Danghyang Nirartha dan berkaitan dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Saat itu Tanjung Ketapang masih merupakan hutan dan semak semak, Penduduknya jarang, tempat tinggal mereka selalu berpindah pindah atau sekedar membuat tempat persinggahan/peristirahatan pada saat melakukan aktivitas menangkap ikan yang dikenal dengan sebutan "Menega" (Nelayan) sampai sekarang. Ada juga yang tinggal menetap serta memeluk agama Hindu. "Tanjung Ketapang" saat itu dipimpin oleh seseorang Pemimpin yang bernama I Gusti Ngurah. I Gusti Ngurah bersifat angkuh, takabur dan sombong serta mendewakan dirinya, sehingga penduduk Tanjung Ketapang atau bangsa lain yang datang ke Tanjung Ketapang harus sujud dan tunduk kepadanya, termasuk suku Bajo. Suku bajo adalah orang- orang dari Sulawesi yang sering mengangkut muatan (membawa muatan barang) menggunakan perahu menuju pelabuhan terusan (Loloan Negara). I Gusti Ngurah adalah pemimpin daerah Tanjung Ketapang yang harus disembah, dihormati dan disegani. Dia tinggal di sebuah Puri/Pura sebutan penduduk saat itu.

Bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Majapahit, seorang Resi/Pendeta dari Jawa pergi ke Bali melakukan Tirta yatra dengan menaiki buah Labu (Waluh kili).

Dari pelayaran beliau sampailah di Tanjung Ketapang. Beliau datang dan tiba di Pulau Bali untuk pertama kali menginjakan kaki di Tanjung Ketapang (Perancak sekarang). Sebelum melanjutkan perjalanan mengelilingi Pulau Bali untuk memperdalam ajaran Agama Hindu maka beliau sementara tinggal di Tanjung Ketapang karena sebelumnya di Tanjung Ketapang belum pernah ada orang yang dapat memberikan petunjuk atau tuntunan tentang ajaran Agama Hindu. Beliau disebut guru besar Agama Hindu. Sebagai guru besar/pendeta beliau sangat disegani dan dikagumi oleh penduduk Tanjung Ketapang. Tetapi oleh I Gusti Ngurah penguasa Tanjung Ketapang tidak pernah hormat sama sekali malah memandang beliau sama atau sejajar seperti penduduk lainya.

Pada suatu hari beliau bersama penduduk mau mengadakan persembahyangan di Pura/puri tempat I Gusti Ngurah berstana. Setibanya beliau disana, I Gusti Ngurah tidak menghormati beliau sebagai seorang Pendeta malah sebaliknya menyuruh sang Pendeta untuk menyembah, hormat dan tunduk dibawah kekuasaanya karena dia mengaku dirinya raja penguasa yang harus disembah untuk memohon, termasuk kepada sang Pendeta. I Gusti Ngurah menyerukan kepada sang pendeta dan penduduk lainya hari itu untuk menyembah dirinya. Sebagai seorang guru besar yang berilmu tinggi tidak sombong menuruti permintaan I Gusti Ngurah. Namun begitu cakupan tangan sang Pendeta sampai didada hendak menyembah, seketika itu pula batu tempat duduk I Gusti Ngurah pecah (Encak) dan I Gusti Ngurah terjungkal.

Dengan kejadian tersebut I Gusti Ngurah menyadari bahwa orang pendatang yang ia anggap biasa ternyata memiliki kesaktian yang sangat tinggi yang bisa mengalahkan dirinya. Karena I Gusti Ngurah merasa takut dan cemas terhadap bahaya yang mengancam dirinya dikemudian hari, maka larilah I Gusti Ngurah ke arah gunung (utara).

Setelah I Gusti Ngurah lari meninggalkan Tanjung Ketapang maka sang Pendeta oleh penduduk dijuluki "PEDANDA SAKTI WAU RAUH" beliau di junjung tinggi, dihormati dan disegani oleh penduduk, beliau adalah Nabe/ Guru besar di tanjung ketapang untuk memperdalam Agama Hindu. Beberapa abad Kemudian beliau terpaksa meningglkan Tanjung Ketapang karena harus melanjutkan perjalanan keliling Pulau Bali (Tirta yatra). Setelah Beliau /sang pendeta meninggalkan Tanjung Ketapang, maka oleh penduduk dibangun pura sebagai tempat penghormatan pemujaan untuk beliau yang di beri nama "PURA ENCAK" asal Pura Encak tersebut adalah dari batu tempat duduk I Gusti Ngurah di puri /pura yang pecah Pura diartikan Tempat (Linggih bahasa bali) Encak diartikan Pecah yang dijadikan nama "Desa Perancak".

Kira-kira sekitar pada tahun 1812 setelah Desa Perancak menjadi Desa difinitif merupakan satu desa kesatuan yaitu Desa/Bajar Perancak, kemudian mengalami pemekaran:

I (Pertama) terdiri dari 2 Banjar yaitu:

  1. Banjar Perancak
  2. Banjar Lemodang

II (Kedua) terdiri dari 3 Banjar yaitu:

  1. Banjar Perancak
  2. Banjar tengah
  3. Banjar Lemodang

III (Ketiga) terdiri dari 4 Banjar yaitu:

  1. Banjar Mekarsar
  2. Banjar Perancak
  3. Banjar Lemodang
  4. Banjar Dangin Berawah

IV (Keempat) sampai dengan tahun 2021 terdiri dari 5 Banjar yaitu:

  1. Banjar Mekarsari
  2. Banjar Perancak
  3. Banjar Lemodang
  4. Banjar Tibu Kleneng
  5. Banjar Dangin Berawah

Nama-nama para kelian Banjar sampai saat ini:

  1.  Banjar Mekarsari        : I Wayan Sugiartha
  2. Banjar Perancak          : I Wayan Karnenta Suyasa
  3. Banjar Lemodang       : I Nengah Budiasnawan
  4. Banjar Tibu Kleneng  : I Ketut Winata
  5. Banjar Dangin Berawah : I Wayan Sudiarta

Desa Perancak dari setelah diresmikan menjadi desa difinitif sampai sekarang mempunyai 16 pemimpin desa (Kelian Kede, Perbekel, Kepala Desa) serta tahun pemerintahannya:

No

NAMA

Tahun Menjabat

Keterangan

1

Pan Kerani

1815-1850

Kelian Gede

2

Pan Gadi

1850-1880

Kelian Gede

3

Pan Gundul

1880-1905

Kelian Gede

4

Pan Raos

1905-1930

Kelian Gede

5

Pan Sinta

1930-1935

Kelian Gede

6

Pan Sulem

1935-1952

Perbekel

7

Pan Resik

1952-1959

Perbekel

8

I Ketut Seneng

1959-1969

Perbekel

9

I Wayan Nitha

1969-1975

Perbekel

10

I Ketut Suamba

1975-1980

Perbekel

11

I Ketut Mara

1980-1989

Kepala Desa

12

I Wayan Nitha

1989-1998

Kepala Desa

13

I Nyoman Wijana

1998-2006

Kepala Desa

14

I Wayan Suarka

2006-2007

Pejabat

15

Ir. I Ketut Suastika Yasa

2007-2013

Kepala Desa

16

I Nyoman Wijana

2013 s/d sekarang

Perbekel

 

Kesimpulan:

Dari sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa Desa Perancak mulai pada saat runtuhnya kerajaan Majapahit dan membentuk pemerintahan desa sendiri sekitar 1812 sampai saat ini telah dipimpim oleh enam belas pemimpin